Sampai Saya Bingung Memikirkan Judulnya
- Oswald da Iry
- Feb 3, 2017
- 6 min read

Apa yang saya dan orang tua saya bicarakan ketika kami berbicara tentang cinta? Apakah kami benar-benar sedang membicarakan tentang cinta saat itu? Apakah kami sedang berdebat mengenai definisi cinta? Atau…?
Saya berani bertaruh, rata-rata remaja seumuran saya pasti pernah membaca atau melihat quote yang berbunyi,”Anak muda zaman sekarang mah percayanya sama quote, bukan sama omongan orang tua .” Kemudian, jika hal ini berbentuk gambar yang dipost di instagram atau media sosial lainnya, caption “True?” akan mengiringinya. Gambar yang memiliki ribuan likes ini memunculkan beberapa pertanyaan kecil yang membuat saya gelisah. Apakah memang benar situasinya seperti ini? Ataukah si pembuat quote ini justru tidak melihat bahwa ada suatu hal yang lebih esensial dari sekedar ‘si anak yang lebih percaya quote daripada nasihat orang tuanya sendiri?’
Satu semester yang lalu saya datang ke rumah untuk berlibur setelah sekian lama menghabiskan liburan saya dengan hal-hal yang ‘tidak penting.’ Saya dan ibu saya sering bercerita berdua sampai semalam suntuk setiap saya berlibur di rumah. Obrolan kami selalu bertema sama : pengalaman. Saya menceritakan pengalaman saya, dan ibu saya menceritakan pengalamannya. Meskipun lebih sering bercerita dengan ibu, saya juga kerap kali berceri.. berdiskusi dengan bapak saya tentang berbagai macam hal. Ya, father’s gonna be father.
Di tengah suatu obrolan, saya bertanya kepada ibu saya,”Bu, Ibu terkadang bingung nggak sih punya anak seperti aku?” Ibu saya terdiam sejenak. Wajahnya benar-benar membuat saya merinding setengah mati. Saya penasaran dengan apa jawaban ibu saya atas pertanyaan hati ke hati itu.
Empat belas bulan yang lalu, saya dan beberapa teman saya membuat sebuah film pendek berjudul “Efforts?”. Film ini bercerita mengenai beberapa orang yang bercerita tentang pengalaman mereka bersama lingkungannya. Perspektif lingkungan dalam film yang kami buat mengarah kepada pengaruh dinamika dalam diri manusia terhadap dinamika yang terjadi dalam lingkungan secara menyeluruh. Dengan kata lain, dinamika yang terjadi dalam lingkungan sangat dipengaruhi oleh dinamika yang terjadi dalam diri manusia. Dalam pandangan kami, kunci keberhasilan dari memperbaiki sebuah kerusakan yang terjadi di alam adalah ketika manusia dapat memperbaiki dirinya sendiri. Film ini kami lombakan dalam sebuah acara bernama Temu Kolese 2015 dengan tema ‘My Earth, My Mother.’
Ketika acara Temu Kolese 2015 mulai, setiap sekolah yang terlibat membuka acara tersebut dengan membuat sebuah pawai. Berbeda dengan sekolah lain, kami melakukan sebuah aksi vandal dalam pawai kami. Aksi vandal tersebut merupakan cara kami memanifestasikan kerusakan lingkungan. Kerusakan lingkungan yang terjadi dalam lingkup manusia; manusia yang rusak dan sakit. Lucunya, karena pawai ini, saya dan 3 teman saya yang lain justru ‘ditendang’ keluar dari acara secara sepihak oleh panitia acara. Entah apa alasan mendasar keluarnya kami berempat, yang jelas aksi kami di acara itu sukses membuka mata teman-teman kami yang lain, dan minimal kami telah berdinamika.
Pawai dan film yang kami buat merupakan manifestasi kami terhadap paradigma pendidikan yang kami hidupi di sekolah kami. Paradigma pendidikan tersebut bernama Paradigma Pedagogi Ignasian alias PPI. PPI memiliki 5 struktur penting : konteks (pengalaman manusiawi yang menjadi titik tolak pengalaman baru); pengalaman (mengenyam suatu pengalaman); refleksi (menyimak kembali secara intensif pengalaman yang terjadi); aksi (sebuah komitmen siswa berdasarkan apa yang mereka refleksikan); dan evaluasi (pengukuran dan peninjauan kembali aksi yang dilakukan). Konteks kami adalah kerusakan diri manusia—kami manifestasikannya dalam bentuk pawai. Pengalaman kami adalah kumpulan pengalaman kami yang memiliki kaitan dengan kerusakan diri. Refleksi kami adalah ketika manusia sedang rusak, ia tidak bisa memperbaiki situasi alamnya, atau malah menambah rusak alamnya itu. Kemudian aksi kami adalah membuat film dan men-share-kan film kami—yang tak lain mengajak orang lain berefleksi juga. Pada akhirnya, evaluasi kami sendiri adalah tentang sebab kami keluar dari acara—mengarah kepada cara dan metode yang kami ambil.
Tidak hanya memenangkan kontes, kami membuat geger seluruh panitia acara dan semua orang yang terlibat dalam acara itu. Dari keseluruhan, ratusan chat masuk ke dalam handphone saya; beberapa memberi feedback, ada yang mengapresiasi, ada pula yang memberi kami evaluasi, bahkan ada teman dari Jakarta yang mengajak saya berdiskusi tentang apa yang kami lakukan. Sebuah aksi kecil yang ternyata berdampak besar.
Dua belas bulan yang lalu, saya bimbang memilih universitas yang akan saya ambil untuk melanjutkan proses belajar formal saya. Ada tiga pilihan : masuk ke jurusan antropologi, ilmu komunikasi, atau film. Saya sangat bimbang waktu itu. Ketika saya masuk antropologi atau ilmu komunikasi, ada sedikit harapan yang menjamin kemana saya akan bekerja. Saya bisa menjadi seorang jurnalis atau budayawan. Meskipun orang tua saya mendukung saya untuk masuk ke dalam bidang itu, saya tidak merasa hati saya berada di situ. Mereka mengatakan bahwa dua ilmu tersebut lebih menjamin pekerjaan saya di kala esok daripada ilmu perfilman. Orang tua saya agak menentang saya ketika saya memilih untuk masuk ke perfilman. Ya, mereka hanya ingin anaknya tidak gagal. Mereka ingin anaknya berhasil.
Waktu yang semakin mepet membuat saya semakin bimbang. Saya tetap ingin belajar film, tetapi orang tua saya bisa ‘murka.’ Pada pertimbangan yang lain, ada satu hal yang membuat saya justru semakin yakin untuk melawan kehendak orang tua saya. Satu hal yang membuat saya terharu sampai sekarang. Satu hal yang terjadi ketika saya pulang ke rumah pada liburan Natal.
Liburan itu, saya pulang ke rumah kecil saya di Serang. Sebuah rumah yang selalu setia merekam dan mengingatkan saya akan pengalaman masa kecil saya. Saya hanya merasakan rumah seutuhnya sampai lulus SD. Ketika SMP, saya masuk asrama dan ketika SMA, saya ngekos. Jadi kepulangan saya ke rumah selalu menjadi hal yang berharga. Selalu ada suatu hal yang menyentuh hati saya setiap saya pulang : kerinduan akan rumah dan orang tua saya.
Hal yang menyentuh saya ketika pulang kala itu adalah sebuah foto yang terpajang di ruang tamu dan ruang keluarga rumah saya. Ada foto saya ketika pawai dalam Temu Kolese; foto yang lain adalah ketika saya sedang berpresentasi mengenai film saya. Bahkan saya tidak tahu bagaimana orang tua saya bisa mendapatkan foto itu. Bahkan bapak saya tidak mengatakan apapun setelah saya bertanya,”Pak, kok ada foto itu?” Bapak hanya bisa menahan tangis harunya ketika saya menanyakan hal itu. Saya melihat mata bapak saya berkaca-kaca benar.
Lima bulan setelah itu adalah masa-masa anak SMA yang baru lulus sedang pusing memikirkan kuliah. Semua membicarakan SNMPTN, seleksi kuliah sana-sini, atau alternatif lain ketika mereka tidak mendapatkan kuliah sama sekali. Saya masih berada dalam kebimbangan saya. Saya mengikuti seleksi di Institut Seni Indonesia untuk mengambil mata kuliah Televisi, namun gagal. Saya putus asa dan merasa saya harus mengikuti keinginan orang tua saya. Saya mendaftar kuliah Ilmu Komunikasi di Universitas Atma Jaya, kembali gagal. Saya merasa sudah tidak punya pilihan lagi. Saya berpikir untuk bekerja selama satu tahun menjadi seorang barista. Ternyata tidak, saya masih punya pilihan. Ada satu akademi film di Jogja. Film! Film! Film! Iya… Film! Setelah perdebatan yang panjang dengan orang tua saya, akhirnya saya mendaftar di kampus itu, mendaftar pada seleksi gelombang kedua. Pilihan terakhir, saya harus berhasil. Setelah satu bulan yang panjang, akhirnya saya mendapat kampus untuk melanjutkan proses belajar saya. Kemudian saya pulang untuk bertemu dan melepas kegelisahan yang selama ini menghantui saya.
Ternyata setelah sekian kali berdebat tentang pilihan, saya kepikiran juga tentang perasaan kedua orang tua saya terhadap anaknya. Saya sering membentak orang tua saya ketika saya bersikeras dengan pilihan yang saya ambil. Beberapa kali perdebatan kami berakhir dengan tangisan. Selalu saya yang menangis. Sementara orang tua saya justru mengelap tangisan saya. Mereka selalu kuat di depan saya. Hal ini membuat saya berpikir bahwa saya benar-benar sukses membuat mereka bingung dengan anaknya sendiri. Kemudian saya pulang untuk bertemu dan melepas kegelisahan yang selama ini menghantui saya.
Di tengah suatu obrolan ketika saya sedang pulang, saya bertanya kepada ibu saya,”Bu, Ibu terkadang bingung nggak sih punya anak seperti aku?” Ibu saya terdiam sejenak. Wajahnya benar-benar membuat saya merinding setengah mati. Saya menahan tangis mendengar jawaban ibu.
Layaknya Cut Mini dalam Athirah alias Emma’, ibu saya menjawab pertanyaan saya perlahan,”Ya….. Bukan bingung sih Dik. Kamu itu anak Ibu, yang bisa Ibu lakukan dengan Bapakmu ya cuma mendidik kamu. Meskipun harus bertengkar tentang pilihanmu, ya apa yang kamu pilih tetaplah apa yang kamu pilih. Tugas kami adalah membantu kamu memastikan pilihan itu tepat atau tidak untuk kamu. Toh, setelah kamu besar nanti, Bapak dan Ibu akan meninggal. Yang terpenting adalah, kamu sekarang sudah tahu apa yang terbaik untuk kamu dan apa yang paling pas untuk kamu. Toh kan foto yang kami pajang itu karena kamu bikin film.” Kemudian saya menangis, lalu berpelukan dengan ibu saya. Tidak jauh berbeda ketika saya marah dan menangis waktu kecil, ibu saya memeluk saya. Bedanya, kini badan saya sudah besar dan ibu saya sepertinya kesusahan ketika gantian saya yang memeluknya. Hehehe…
“Anak muda zaman sekarang mah percayanya sama quote, bukan sama omongan orang tua .” Ya, quote ini memang benar. Anak muda akan lebih percaya dengan quote, lebih mendengarkan quote daripada orang tuanya, karena…. Karena terkadang orang tua tidak perlu muluk-muluk menasihati saya untuk mendidik saya. Karena orang tua mendidik kita lewat apapun, sekalipun dengan memajang foto; sekalipun dengan perdebatan melelahkan; sekalipun lewat belajar mengirim pesan via Whatsapp untuk anaknya, meski sekedar menanyakan kabar, Simbok atau si Bapak mungkin butuh berjam-jam belajar untuk membuat pesan itu bisa terkirim. Orang tua ternyata merupakan figur yang benar-benar pengertian bagi saya. Mungkin cara orang tua untuk membuat anaknya belajar adalah dengan cinta. Karena mencintai memiliki dampak yang lebih dari sekedar membuat quote. Kan tidak lucu juga, kalau orang tua harus membuat gambar berisi quote seperti di Pinterest atau Instagram untuk menasihati anaknya. Satu hal itu…. Cinta.
Apa yang saya dan orang tua saya bicarakan ketika kami berbicara tentang cinta? Terkadang kami tidak bisa hanya berbicara tentang cinta. Karena kami berada di dalamnya, kami sedang mencintai.
Apa yang ibu rasakan ketika saya bertanya tentang bingungnya dia memiliki anak seperti saya? Apa yang bapak saya rasakan ketika saya menanyai foto yang terpajang di ruang tamu? Apa yang saya rasakan ketika saya memeluk ibu saya ketika menangis? Apa yang saya rasakan ketika saya memeluk bapak saya setiap ia mengantarkan saya ke bandara untuk pulang ke Jogja? Cinta. Karena kami sedang ada di dalamnya, kami sedang saling mencintai.
Comentarios